BAB III
DIRECT COSTING
& ANALIS BIAYA
1.1 Kelemahan
Akuntansi Biaya Penuh (Full Costing)
Penyajian
(penghitungan) biaya produksi dalam metode full costing menurut akuntansi biaya
(versi akuntansi keuangan) adalah sebagai berikut: biaya bahan baku + biaya
tenaga kerja langsung + BOP variable + BOP tetap. Dengan penghitungan tersebut
maka semua biaya produksi akan dibebankan kepada produk jadi. Seperti kita
ketahui, bahwa tidak semua produk jadi tersebut akan laku terjual pada bulan
yang bersangkutan. Dengan demikian sisa produk akan menjadi “sediaan produk
jadi” (Finished Goods) yang masih ada di gudang.
Sehingga
didalam penghitungan harga pokok penjualan maka nilai sediaan produk jadi.
Saldo Awal produk jadi akan menambah harga pokok penjualan, sedangkan Saldo Akhir
sebagai pengurang harga pokok penjualan.
Contoh implementasi Full Costing
PT Bayu Murti sebuah perusahaan
manufaktur memiliki data sebagai berikut:
·
Kapasitas pabrik (normal) 100.000 unit
per tahun atau 25.000 unit per triwulan. Sementara biaya produksi per unit
produk adalah:
biaya bahan baku/unit
|
Rp 60,--
|
|
Upah langsung/unit
|
Rp 50,--
|
|
BOP Var/unit
|
Rp 15,--
|
|
BOP tetap/unit
|
Rp 20,--
|
(Rp 2.000.000,-- /Th).
|
Hg Pokok Prod./unit
|
Rp 145,--
|
·
Biaya usaha (operasi) variable Rp
25,--/unit
·
Biaya operasi tetap Rp
4.000.000,--/tahun
·
Harga jual/unit Rp 250,--.
Sedangkan
data produksi, penjualan dan posisi saldo produk jadi setiap triwulan adalah
sebagai berikut:
KETERANGAN
|
TRIWULAN
|
|||
I
|
II
|
III
|
IV
|
|
Sediaan awal
|
-
|
-
|
5,000
|
-
|
Produksi
|
25,000
|
25,000
|
20,000
|
28,000
|
Penjualan
|
25,000
|
20,000
|
25,000
|
24,000
|
Sediaan akhir
|
-
|
5,000
|
-
|
4,000
|
Dari
data tersebut, perhitungan laba rugi dengan menggunakan full costing (biaya
penuh) bagi PT Bayu Murti setiap triwulan adalah sebagai berikut:
PT BAYU MURTI
|
||||
LAPORAN LABA (RUGI) PER TRIWULAN TH: ..
|
||||
(Metode Biaya Penuh atau Full Costing)
|
||||
KETERANGAN
|
TRIWULAN
|
|||
I
|
II
|
III
|
IV
|
|
Produk terjual (Unit)
|
25,000
|
20,000
|
25,000
|
24,000
|
Nilai Penjualan (Rp)
|
6,250,000
|
5,000,000
|
6,250,000
|
6,000,000
|
Harga Pokok Penjualan:
|
||||
Saldo Awal
|
-
|
-
|
(725,000)
|
-
|
Harga Pokok Produksi
|
(3,625,000)
|
(3,625,000)
|
(2,900,000)
|
(4,060,000)
|
Saldo Akhir
|
-
|
725,000
|
-
|
580,000
|
*) Selisih kapasitas laba (rugi)
|
-
|
-
|
(100,000)
|
60,000
|
Harga Pokok Penj. Sesungguhnya:
|
(3,625,000)
|
(2,900,000)
|
(3,725,000)
|
(3,420,000)
|
Laba Kotor:
|
2,625,000
|
2,100,000
|
2,525,000
|
2,580,000
|
Biaya Usaha variabel:
|
(625,000)
|
(500,000)
|
(625,000)
|
(600,000)
|
Biaya Usaha (Operasi)
Tetap:
|
(1,000,000)
|
(1,000,000)
|
(1,000,000)
|
(1,000,000)
|
Laba Bersih:
|
1,000,000
|
600,000
|
900,000
|
980,000
|
*) Selisih kapasitas, adalah adanya selisih jumlah
produksi sesungguhnya (actual) dengan kapasitas normal kali tariff BOP tetap, (
Trw III: selisih kapasitas kurang 5.000 unit x Rp 20,--, Tw IV selisih lebih
3.000 x Rp 20,--)
·
Dari contoh kasus tersebut maka terlihat
bahwa terjadi perbedaan antara prestasi keuntungan triwulan I dengan triwulan
III, walaupun dengan tingkat penjualan yang sama (25.000 unit). Pada triwulan I
laba bersih mencapai Rp1.000.00,-- sementara triwulan ke III hanya Rp
900.000,--. Perbedaan tersebut terjadi karena triwulan ke III harus menanggung
sebagian biaya triwulan sebelumnya yang masih terkandung didalam nilai sediaan
saldo awal.
·
Metode full costing menekankan
pentingnya peran aktivitas produksi (bukan konsentrasi pada aktivitas
penjualan). Seperti terlihat adanya pembebanan selisih kapasitas dengan
realisasinya. Apabila produksi lebih tinggi dari pada kapasitas normal, akan
diakui adanya keuntungan akibat produksi
naik. Sementara apabila dalam satu periode terjadi penurunan produksi dari
kapasitas normal, maka perusahaan akan mengalami kerugian akibat kapasitas yang
tidak tercapai.
·
Metode full costing dalam membebankan
BOP yang bersifat tetap (fixed cost) kedalam komponen harga pokok produksi
memiliki kelemahan, karena apabila produk tidak habis terjual, maka biaya
tersebut akan menjadi komponen nilai sediaan. Dengan demikian apabila sediaan
semakin bertambah, maka seolah-olah keuntungan meningkat pula. Hal tersebut
disebabkan biaya tetap akan terakumulasi terus dan akan menambah nilai sediaan.
3.2 Variable
Costing atau Direct Costing
Metode
full costing berguna bagi kepentingan Akuntansi Keuangan. Tetapi untuk
mengambil keputusan, utamanya untuk menetapkan harga jual (pricing) informasi
tersebut menyesatkan. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa metode full costing
membebankan semua BOP yang bersifat tetap kedalam harga pokok produksi.
Sementara ada produk yang belum terjual sehingga harus masuk gudang sebagai
sediaan. Dengan demikian harga pokok produksi per unit sangat dipengaruhi oleh
kapasitas produksi yang dicapai pada periode yang bersangkutan.
Biaya
tetap sebenarnya adalah merupakan biaya periode atau waktu, yang tidak ada
hubungannya dengan kapasitas produksi. Artinya pada tingkat kapasitas produksi
berapapun biaya tetap tersebut tetap harus dibayar. Dengan demikian untuk
kepentingan pengambilan keputusan, penetapan harga pokok produksi dengan metode
full costing menjadi tidak relevan.
Untuk
menjembatani kepentingan penetapan harga jual maupun harga transfer produk jadi
ada metode lain yang bisa digunakan yaitu: “metode biaya variable” (variable
cost method) atau biasa disebut juga dengan istilah “metode biaya langsung”
(direct costing method).
Metode
biaya variable (direct costing) pada dasarnya adalah menyajikan penghitungan
harga pokok produksi tanpa unsure biaya tetap. Artinya hanya biaya variable
atau biaya yang berhubungan langsung saja yang dibebankan kepada harga pokok
produksi. Sementara biaya tetap merupakan biaya periode yang berhubungan dengan
waktu, maka unsure biaya tetap produksi langsung dilaporkan dalam laporan laba
rugi.
Jadi
perbedaan pokok antara full costing dan variable costing dalam penghitungan
harga pokok produksi adalah:
·
Full costing menganggap BOP tetap
merupakan komponen biaya produksi, jadi harus dibebankan kepada produk, baik
yang terjual maupun yang masih dalam sediaan di gudang. Sementara yang masuk
kategori biaya periode adalah biaya tetap operasi (biaya usaha).
·
Direct costing menganggap biaya produksi
adalah biaya langsung dan bersifat variable, sementara seluruh komponen biaya
tetap dimasukkan sebagai biaya periode.
Dengan
menggunakan contoh terdahulu maka perhitungan harga pokok produksi dan laporan
laba (rugi) menggunakan metode direct costing adalah sebagai berikut:
PT
Bayu Murti sebuah perusahaan manufaktur memiliki data:
·
Kapasitas pabrik (normal) 100.000 unit
per tahun atau 25.000 unit per triwulan. Sementara biaya produksi per unit
produk adalah:
biaya bahan baku/unit
|
Rp 60,--
|
|
Upah langsung/unit
|
Rp 50,--
|
|
BOP Var/unit
|
Rp 15,--
|
|
Hg Pokok Prod./unit
|
Rp 125,--
|
·
BOP tetap per tahun: Rp2.000.000,-- (Rp
500.000,--/triwulan).
·
Biaya usaha (operasi) variable Rp
25,--/unit
·
Biaya operasi tetap Rp
4.000.000,--/tahun
·
Harga jual/unit Rp 250,--.
Sedangkan data produksi, penjualan dan
posisi saldo produk jadi setiap triwulan adalah sebagai berikut:
KETERANGAN
|
TRIWULAN
|
|||
I
|
II
|
III
|
IV
|
|
Sediaan awal
|
-
|
-
|
5,000
|
-
|
Produksi
|
25,000
|
25,000
|
20,000
|
28,000
|
Penjualan
|
25,000
|
20,000
|
25,000
|
24,000
|
Sediaan akhir
|
-
|
5,000
|
-
|
4,000
|
Dari
data tersebut, perhitungan laba rugi dengan menggunakan direct costing (biaya
variabel) bagi PT Bayu Murti setiap triwulan adalah sebagai berikut:
Dengan membandingkan laporan laba (rugi) antara metode “full
costing” dengan metode “direct costing”, paling tidak ada 3 hal yang
membedakan yaitu:
(a)
Penentuan harga pokok produksi; metode full costing memasukkan
BOP tetap kedalam penghitungan harga pokok produksi. Sehingga nilai
persediaan (yang belum terjual) menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan
metode direct costing. Metode direct costing hanya memasukkan unsure biaya
variable kedalam penghitungan harga pokok produksi. Sementara BOP tetap
dianggap merupakan biaya periode yang langsung diperhitungkan dalam laporan
laba (rugi).
(b)
Istilah laba kotor (Penjualan – Harga Pokok Pejualan), tidak ada
dalam metode direct costing. Dalam metode direct costing istilah laba kotor
diganti dengan marjin kontribusi (contribution margin), yaitu suatu konsep
antara selisih nilai penjualan (revenue) setelah dikurangi dengan seluruh
komponen biaya variable. Marjin kontribusi (contribution margin) adalah
kelebihan nilai penjualan setelah dikurangi biaya variable yang tersedia
untuk menutup seluruh biaya tetap perusahaan.
(c)
Laba bersih operasi; perbedaan angka laba operasi menurut metode
full costing dibandingkan dengan metode direct costing disebabkan
(dipengaruhi) nilai sediaan yang belum terjual. Nilai sediaan menurut full
costing dengan metode direct costing berbeda karena unsure BOP tetap. Metode
full costing memasukkan unsure BOP tetap kedalam harga pokok produksi
sementara metode direct costing hanya memasukkan unsure variable saja kedalam
harga pokok produksi.
|
Perlu
diketahui bahwa penyajian laporan laba (rugi) dengan metode direct costing hanya
digunakan untuk kebutuhan pengambilan keputusan internal. Metode direct costing
tidak bisa digunakan untuk menyajikan laporan keuangan sesuai kaidah (standar
akuntansi keuangan). Artinya untuk penyajian laporan keuangan bagi pihak
eksternal, tetap harus menggunakan metode full costing.
3.3 Manfaat
Direct Costing Bagi Keputusan Manajemen.
Seperti
dijelaskan sebelumnya, bahwa penghitungan harga pokok produksi dengan metode
direct costing, murni hanya untuk keperluan manajemen internal perusahaan, dan
tidak diperbolehkan untuk memberikan informasi bagi pihak eksternal perusahaan.
Dan direct costing lebih informative dibandingkan dengan full costing, apabila
untuk keperluan pengendalian biaya, sebagai perencanaan laba dan pengambilan
keputusan yang lain.
Paling
tidak ada tiga manfaat bagi manajemen atas informasi yang disajikan metode
direct costing, antara lain adalah:
(a) Direct
costing untuk perencanaan laba; perencanaan laba (profit planning), adalah
merupakan aktivitas perencanaan operasi secara menyeluruh baik jangka panjang
maupun jangka pendek. Dalam hal ini direct costing bermanfaat untuk membuat
perencanaan laba jangka pendek. Direct costing pada dasarnya memisahkan biaya
variable dengan biaya yang bersifat tetap. Dengan demikian marjin kontribusi
akan diketahui (baik per unit maupun secara total). Marjin kontribusi adalah
selisih antara nilai penjualan (-) biaya variable. Dengan memahami konsep
tersebut, maka manajemen bisa merencanakan pada tingkat penjualan berapa
perusahaan akan pulang pokok, berapa penjualan terendah (minimum) harus
dilakukan dan sebagainya.
Contoh kasus 1:
Umpama diketahui bahwa harga jual/unit
produk Rp 1.000,--, sementara biaya variable/unit adalah Rp 400,-- biaya tetap
perusahaan adalah Rp 450.000,--, maka pada tingkat penjualan berapa unitkah
agar perusahaan bisa pulang pokok (break event point) yaitu kondisi tidak
menderita rugi dan tidak mendapatkan laba?
Jawab:
Pulang pokok dalam unit (volume) bisa
dicari dengan rumus:
|
|
||||
Dimana
:
Dengan demikian titik pulang pokok dalam
unit (volume penjualan) bisa dicari sebagai berikut:
Kontribusi marjin per unit = Rp
1.000,-- - Rp 400,--
= Rp 600,--
Volume penjualan pada kondisi pulang
pokok adalah: Rp 450.000,-- : Rp 600 = 750 unit.
(b) Direct
costing membantu pricing (penetapan harga jual); kondisi pasar dalam persaingan
yang semakin ketat menuntut manajemen agar bisa mengambil keputusan yang
berhubungan dengan penetapan harga (pricing) dengan cepat. Berikut adalah
contoh kasus yang berhubungan dengan penurunan harga jual untuk memperluas
pangsa pasar, sehingga pada gilirannya bisa meningkatkan laba perusahaan.
Contoh
kasus 2: (keputusan
peluasan pasar)
Sebuah pabrik memiliki kapasitas 100.000
unit, sementara pangsa pasar 75.000 unit. Harga jual Rp 1.000,--/unit, dengan
biaya variable Rp 600,-- /unit. Biaya tetap Rp 25.000.000,-- Apabila perusahaan
bisa menurunkan harga jual menjadi Rp 950,-- per unit, maka volume penjualan
bisa ditingkatkan menjadi 100.000 unit sesuai kapasitas pabrik. Saudara sebagai
seorang Akuntan Manajemen mendapat tugas untuk melakukan analisa tersebut,
apakah keputusan untuk menurunkan harga jual tersebut secara agregat
menguntungkan atau tidak.
Jawab :
Untuk menyelesaikan kasus tersebut bisa
dilakukan dengan table berikut:
Keterangan
|
Sbl perluasan
|
ssdh perluasan
|
Unit terjual
|
75,000
|
100,000
|
Harga jual/unit
|
1,000
|
950
|
Vaariable cost/unit
|
(600)
|
(600)
|
Contribution Margin
|
400
|
350
|
Total contribution
margin
|
30,000,000
|
35,000,000
|
Total Biaya Tetap
|
(25,000,000)
|
(25,000,000)
|
Laba Bersih
|
5,000,000
|
10,000,000
|
Dari table tersebut terlihat bahwa
dengan menurunkan harga jual dari Rp 1.000,-- menjadi Rp 950,--, ternyata bisa meningkatkan pasar lebih dari 30% dan
kapasitas produksi bisa meningkat. Sedangkan keputusan tersebut selain bisa
meningkatkan pangsa pasar juga menghasilkan keuntungan lebih tinggi (dari Rp
5.000.000,-- menjadi Rp 10.000.000,-- yang berarti laba naik 100%).
(a) Direct
costing juga bisa membantu manajemen dalam pengambilan keputusan lain yang
bersifat jangka pendek. Analisa contribution margin (marjin kontribusi) juga
berguna untuk pemecahan antara lain masalah-masalah: memasuki pasar baru,
pesanan-pesanan khusus dan sebagainya.
Contoh
kasus 3:
Sebuah perusahaan memiliki data produksi
dan biaya produksi sebagai berikut:
·
Kapasitas produksi 1.000 unit, yang baru
terpakai 75% (750 unit).
·
Harga pokok produksi per unit dengan
menggunakan metode full costing adalah sebesar
: Rp 800,--/ (biaya variable Rp 500,--/unit dan BOP tetap Rp 300,-- per
unit). Tarip biaya tetap diperoleh dari total biaya tetap Rp 300.000,-- dibagi
dengan kapasitas 1.000 unit.
·
Perusahaan mendapat pesanan khusus
sebanyak 200 unit dengan harga Rp 700,--/unit
·
Sementara harga jual di pasar untuk
produk tersebut adalah Rp 1.000,-- per unit.
Ditanya: apakah pesanan khusus tersebut
bisa diterima atau ditolak.
Jawab
:
Pesanan khusus bisa diterima, apabila
syarat-syarat berikut terpenuhi:
·
Harga pesanan > biaya variable,
sehingga masih bisa memberikan marjin kontribusi.
·
Kapasitas produksi masih tersedia untuk
memenuhi pesanan tersebut.
·
Tidak akan mempengaruhi harga pasar
(pesanan tersebut tidak untuk dijual kembali)
·
Hasil penghitungan dengan menerima
pesanan khusus tersebut adalah sebagai berikut:
Keterangan
|
kondisi existing
|
pesanan khusus
|
Unit dijual
|
750
|
200
|
harga jual/unit
|
1,000
|
700
|
Variabel cost/unit
|
(500)
|
(500)
|
Marjin Kontribusi/unit
|
500
|
200
|
Total Marjin
Kontribusi
|
375,000
|
40,000
|
Total Biaya Tetap:
|
(300,000)
|
-
|
Laba bersih:
|
75,000
|
40,000
|
Kesimpulan: dengan menerima pesanan
khusus tersebut, maka perusahaan mendapatkan tambahan keuntungan sebesar: Rp
40.000,--. Jadi walaupun harga pesanan khusus tersebut dibawah harga jual di
pasar dan bahkan dibawah harga pokok produksi (metode full costing), selayaknya
diterima karena masih ada sisa kapasitas.
3.4 Latihan
1.
PT Whisnu Murti sebuah perusahaan
manufaktur memiliki data sebagai berikut:
·
Kapasitas pabrik (normal) 1000.000 unit
per tahun atau 250.000 unit per triwulan. Sementara biaya produksi per unit
produk adalah:
·
Biaya usaha (operasi) variable Rp
15,--/unit
biaya bahan baku/unit
|
Rp 40,--
|
|
Upah langsung/unit
|
Rp 20,--
|
|
BOP Var/unit
|
Rp 15,--
|
|
BOP tetap/unit
|
(Rp 15.000.000,--
/Th).
|
·
Biaya tetap manajemen umum dan pemasaran
Rp 6.000.000,--/tahun
·
Harga jual/unit Rp 200,--.
Sedangkan
data produksi, penjualan dan posisi saldo produk jadi setiap triwulan adalah sebagai
berikut:
KETERANGAN
|
TRIWULAN
|
|||
I
|
II
|
III
|
IV
|
|
Sediaan awal
|
-
|
-
|
5,000
|
-
|
Produksi
|
25,000
|
25,000
|
20,000
|
28,000
|
Penjualan
|
25,000
|
20,000
|
25,000
|
24,000
|
Sediaan akhir
|
-
|
5,000
|
-
|
4,000
|
Dari
data tersebut Saudara diminta membuat:
(a) Laporan
laba rugi menurut metode full costing.
(b) Laporan
laba (rugi) menurut metode direct costing.
2. PT
Kartika membuat suatu produk yang dijual dengan harga/unit sebesar Rp 5.000,--,
sementara biaya variable/unit adalah Rp 2.000,-- biaya tetap perusahaan secara
total adalah Rp 4.500.000,--,
Ditanya:
(a) Pada
tingkat penjualan berapa unitkah perusahaan bisa pulang pokok (break event
point)?
(b) Apabila
perusahaan menghendaki tingkat keuntungan sebesar Rp 5.000.000,-- berapa
unitkah volume penjualan harus dicapai?
3. PT
Gavra memiliki pabrik dengan kapasitas terpasang 1.000.000 unit, sementara
kapasitas normal baru terpakai 80%, sesuai dengan pangsa pasar yang dimiliki
perusahaan yaitu: 800.000 unit. Harga jual Rp 1.000,--/unit, dengan biaya
variable Rp 600,-- /unit. Biaya tetap total Rp 240.000.000,-- Apabila
perusahaan bisa menurunkan harga jual menjadi Rp 950,-- per unit, maka volume
penjualan bisa ditingkatkan mendekati kapasitas terpasang yaitu sebesar:
950.000 unit. Saudara sebagai seorang Akuntan Manajemen mendapat tugas untuk
melakukan analisa tersebut, apakah keputusan untuk menurunkan harga jual
tersebut secara agregat menguntungkan perusahaan atau tidak.
4. Sebuah
perusahaan sepatu memiliki data produksi dan biaya produksi sebagai berikut:
·
Kapasitas produksi 1.000.000 unit, yang
baru terpakai 75% (750.000 unit).
·
Harga pokok produksi per unit dengan
menggunakan metode full costing adalah sebesar
: Rp 70.000,--/ (biaya variable Rp 50.000,--/unit dan BOP tetap Rp
20.000,-- per unit). Tarip biaya tetap yang dibebankan adalah dari total biaya
tetap sebesar Rp 20.000.000.000,-- dibagi dengan kapasitas penuh (1.000.000
unit).
·
Perusahaan mendapat pesanan khusus
sebanyak 200 unit dengan harga Rp 65.000,--/unit
·
Sementara harga jual sepatu tersebut di
pasar adalah sebesar Rp 90.000,-- per unit.
Ditanya:
apakah pesanan khusus tersebut bisa layak diterima atau harus ditolak. Jawaban
Saudara harus disertai perhitungan dan alas an yang masuk akal.
No comments:
Post a Comment